Hukum Pajak.
Analisa
Pengaturan Pajak Terhadap Transaksi Kripto
(Sumber berita)Cryptocurrency ini tidak seperti mata uang
tunai yang biasa kita temui.Mata uang kripto disimpan pada sebuah system yakni
blockhain. Blockhain ini mengelola data transaksi mata uang digital dan yang
mengelola ini merupakan penggunanya sendiri tidak diwakilkan oleh siapapun.
Transaksi kripto ini sifatnya terbuka dan bebas serta bersifat rahasia yakni
kita tidak mengetahui identitas pengguna lain. Jenis mata uang kripto ada banyak
yakni Bitcoin,Ethereum,Dogecoin,EOS,Tron,Ripple,Litecoin,Stellar cardano, dll.
Walaupun pada awalnya cryptocureency ini
dianggap sebagai pembayaran yang tidak sah namun saat ini sudah dianggap legal
dengan dikeluarkannya peraturan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sudah memberikan
kepastian hukum soal Bitcoin di Indonesia. Ada empat peraturan Bappebti yang
melegalkan perdagangan komoditas digital, berupa aset kripto maupun emas digital.
Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Peraturan
Bappebti No. 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa
Berjangka
2. Peraturan
Bappebti No. 3 Tahun 2019 tentang Komoditi yang Dapat Dijadikan Subjek Kontrak
Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah dan/atau Kontrak Derivatif Lainnya yang
Diperdagangkan di Bursa Berjangka.
3. Peraturan
Bappebti No. 4 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik
Emas Digital di Bursa Berjangka.
4. Peraturan
Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik
Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka.
Adanya pengaturan mengenai transaksi kripto
ini juga sebenarnya sebagai perlindungan terhadap para pelaku yang menggunakan
transaksi kripto dan ketentuan itu akan menjadi sarana bagi para pelaku agar
aset dan arus keuangan mereka dianggap legal untuk negara. Semua penghasilan
wajib dikenakan pajak, termasuk penghasilan yang berasal dari aktivitas jual
beli. Di Indonesia, bitcoin berstatus sah untuk diperjual-belikan, namun hanya
sebagai komoditas aset digital bukan sebagai alat pembayaran yang sah.
Jika dilihat pada UU pajak, atau UU yang
paling sederhana UU PPh dan UU PPN. UU PPN yang akan dikenakan adalah barang
dan jasa yang masuk ke daerah pabeanan. Pada pajak pertambahan nilai (PPN), DJP
perlu mencermati aset kripto yang akan masuk dalam kategori barang, jasa, atau
alat tukar. Sementara terkait pajak penghasilan (PPh), sistem pajak penghasilan
di Indonesia dikenakan atas seluruh tambahan kemampuan ekonomi. Ketentuan pada
Undang-undang pajak di Indonesia tidak hanya berfokus pada penghasilan-penghasilan
yang sifatnya legal dan diakui hukum.Pengaturan pajak mengenai transaksi kripto
ini harus segera diselesaikan karena hal ini diperlukan untuk mengelola ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat umum.
Individu maupun badan usaha yang mendapat
keuntungan pada transaksi kripto wajib dikenakan pajak. Apabila pelaku pada
transaksi kripto ini merupakan individu, maka akan dikategorikan sebagai wajib
pajak orang pribadi. Aktivitas yang dilakukan pribadi dalam bentuk trading akan
dikenakan PPh Final, hal tersebut berdasarkan PP No.23 tahun 2018 dengan tarif
0,5% tanpa ketentuan minimal dengan maksimal omzet Rp 4,8 miliar per tahun.
Ketika omzet sudah melebihi ketentuan maksimal, maka akan dikenakan tarif
progresif 5% sampai 30%. Keuntungan yang berdasarkan atas nama perusahaan, maka
besaran pajaknya disesuaikan dengan tarif Pajak penghasilan Badan. Setiap wajib
pajak yang mendapatkan keuntungan pada transaksi kripto ini harus melaporkannya
dalam SPT Tahunan dan mencantumkan kepemilikan bitcoin dalam pajak tahunan
sebagai aset.
Dianalisis oleh : Inez Candra Fadhilah (1902056045), Mahasiswi Ilmu Hukum UIN Walisongo Semarang
Baca Juga :
Analisis Berita CNBC Indonesia “Ini Alasan Sri Mulyani Setop Pidanakan Pengemplang Pajak!”
Peleburan Kantor Pelayanan Pajak di Indonesia, Alasannya?
Analisa Berita "Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data"
Komentar
Posting Komentar